LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK
Nama : Arrofath Munawar
NPM :
E1G013044
Prodi : Teknologi Industri Pertanian
Kelompok
: 2 (Dua)
Hari/jam : Kamis jam 14.00-16.00
Tanggal : 24 oktober 2013
Ko-ass : 1. Reski Pratama
2. Tatik Sulasmi
Dosen : 1. Dra. Devi Silsia, M.Si
2. Drs. Syafnil.M.Si
Objek Praktikum : Titrasi Asam Basa
LABORATORIUM TEKNOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Titrasi merupakan salah satu cara untuk menentukan
konsentrasi larutan suatu zat dengan cara mereaksikan larutan tersebut dengan
zat lain yang diketahui konsentrasinya. Prinsip dasar titrasi asam basa
didasarkan pada reaksi nertalisasi asam basa.
Titik ekivalen pada titrasi asam basa adalah pada
saat dimana sejumlah asam tepat di netralkan oleh sejumlah basa. Selama titrasi
berlangsung terjadi perubahan pH. pH pada titik equivalen ditentukan oleh
sejumlah garam yang dihasilkan dari netralisaasi asam basa. Indikator yang
digunakan pada titrasi asam basa adalah yang memiliki rentang pH dimana titik
equivalen berada. Pada umumnya titik equivalen tersebut sulit untuk diamati,
yang mudah dimatai adalah titik akhir yaang dapat terjadi sebelum atau sesudah
titik equivalen tercapai. Titrasi harus dihentikan pada saat titik akhir
titrasi tercapai, yang ditandai dengan perubahan warna indikator. Titik akhir
titrasi tidak selalu berimpit dengan titik equivalen. Dengan pemilihan
indikator yang tepat, kita dapat memperkecil kesalahan titrasi.
Titrasi
asam basa merupakan contoh analisis glumetri, yaitu suatu cara atau metode yang menggunakan larutan yang disebut
titran dan dilepaskan dari perangkat gelas yang disebut buret. Titik dalam
titrasi dimana titran yang telah ditambahkan cukup untuk bereaksi secara tepat
dengan senyawa yang ditentukan disebut titik ekivalen atau titik stoikhiometri,
titik ini sering ditandai dengan perubahan warna senyawa yang disebut
indikator.
Berikut ini
syarat-syarat yang diperlukan agar titrasi yang dilakukan berhasil :
1. Konsentrasi
titrasi harus diketahui. Larutan seperrti ini disebut larutan standar.
2. Reaksi yang
tepat antara titran dan senyawa yang dianalisis harus diketahui.
3. Titik stoikhiometri
atau titik ekivalen harus diketahui. Indikator yang memberikan perubahan warna,
atau sangat dekat pada titik ekivalen yang sering digunakan. Titik pada saat
indikator berubah warna disebut titik akhir.
4. Volume titran
yang dibutuhkan untuk mencapai titik ekivalen harus diketahui setepat mungkin.
1.2 Tujuan
1.2 Tujuan
1.
Mahasiswa mampu menerapkan teknik titrasi untuk menganalisis contoh yang
mengandung asam.
2.
Mahasiswa mampu menstandarisasi larutan.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
Titrasi asam
basa sering disebut asidi-alkalimetri, sedang untuk titrasi pengukuran
lain-lain sering dipakai akhiran-ometri mengggantikan –imertri. Kata metri
berasal dari bahasa yunani yang berarti ilmu proses seni mengukur. I dan O dalam hubungan mengukur sama saja, yaitu
dengan atau dari (with or off). Akhiran I berasal dari kata latin dan O berasal
dari kata Yunani. Jadi asidimetri dapat diartikan pengukuran jumlah asam
ataupun pngukuran dengan asam (yang diukur dalam jumlah basa atau garam). (Harjadi, W. 1990)
Reaksi penetralan asam basa dapat digunakan
untuk menentukan kadar larutan asam atau larutan basa. Dalam hal ini
sejumlah tertentu larutan asam ditetesi dengan larutan basa, atau sebaliknya sampai mencapai titik
ekuivalen (asam dan basa tepat
habis bereaksi). Jika molaritas salah satu larutan (asam atau basa) diketahui,
maka molaritas larutan yang satu lagi dapat ditentukan. (Michael. 1997)
Jika larutan asam ditetesi dengan
larutan basa maka pH larutan akan naik, sebaliknya jika larutan basa ditetesi
dengan larutan asam maka pH larutan akan turun. Grafik yang menyatakan
perubahan pH pada penetesan asam dengan basa atau sebaliknya disebut kurva
titrasi. Kurva titrasi berbetuk S, yang pada ttik tengahnya merupakan titik
ekuivalen. (Michael.
1997)
Titrasi asam basa dapat memberikan
titik akhir yang cukup tajam dan untuk itu digunakan pengamatan dengan
indikator bil pH pada titik ekuivalen 4-10. Demikian juga titik akhir titrasi
akan tajam pada titirasi asam atau basa lemah, jika penitrasian adalah basa
atau asam kuat dengan perbandingan tetapan disosiasi asam lebih besar dari 104
.pH berubah secara drastis bila volume titrannya. Pada reaksi
asam basa, proton ditransfer dari satu molekul ke molekul lain. Dalam air
proton biasanya tersolvasi
sebagai H30. Reaksi asam basa bersifat reversibel. Temperatur
mempengaruhi titrasi asam basa, pH dan perubahan warna indikator tergantung secara tidak langsung pada
temperatur.
(Khopkar, S.M. 1990)
Pada kedua jenis titrasi diatas,
dipergunakan indikator yang sejenis yaitu fenoftalen (PP) dan metil orange (MO).
Hal tersebut dilakukan karena jika menggunakan indikator yang lain, misalnya TB,
MG atau yang lain, maka trayek pHnya sangat jauh dari ekuivalen. (Harjadi, W. 1990)
Pada titrasi asidi-alkalimetri dibagi menjadi dua bagian
besar
yaitu : (Susanti,1995)
1. Asidimetri. Titrasi ini menggunakan larutan standar asam
yang digunakan untuk menentukan basa. Asam yang biasa digunakan adalah HCl,
asam cuka, asam oksalat,
asam borat.
2. Alkalimeri.
Pada titrasi ini merupakan kebalikan dari asidi-alkalimetri karena larutan yang
digunakan untuk menentukan asam disini adalah basa.
Titirasi asam-basa merupakan cara yang tepat dan mudah
untuk menentukan jumlah
senyawa-senyawa yang bersifat asam dan basa. Kebanyakan asam dan basa organik dan organik
dapat dititrasi dalam larutan berair, tetapi sebagian senyawa itu terutama
senyawa organik tidak larut dalam air. Namun demikian umumnya senyawa
organik dapat larut dalam pelarut organik, karena itu senyawa organik itu dapat
ditentukan dengan titrasi asam basa dalam pelarut inert. Untuk menentukan asam
digunakan larutan baku asam kaut misalnya HCl, sedangkan untuk menentuan basa
digunakan larutan basa
kuat misalnya
NaOH. Titik akhir
titrasi biasanya ditetapkan dengan bantuan perubahan indikator asam basa yang
sesuai atau dengan bantuan peralatan seperti potensiometri, spektrofotometer,
konduktometer.
(Rivai, H, 1990)
Titrasi asam basa melibatkan asam maupun basa sebagai titer ataupun
titrant. Kadar larutan asam ditentukan dengan menggunakan larutan basa atau
sebaliknya. Titrant ditambahkan titer tetes demi tetes sampai mencapai keadaan
ekuivalen ( artinya secara stoikiometri titrant dan titer tepat habis bereaksi)
yang biasanya ditandai dengan berubahnya warna indikator. Keadaan ini disebut
sebagai “titik ekuivalen”, yaitu titik dimana konsentrasi asam sama
dengan konsentrasi basa atau titik dimana jumlah basa yang ditambahkan sama
dengan jumlah asam yang dinetralkan : [H+] = [OH-]. Sedangkan keadaan dimana
titrasi dihentikan dengan cara melihat perubahan warna indikator disebut
sebagai “titik akhir titrasi”. Titik akhir titrasi ini mendekati titik
ekuivalen, tapi biasanya titik akhir titrasi melewati titik ekuivalen. Oleh
karena itu, titik akhir titrasi sering disebut juga sebagai titik ekuivalen.
(Esdi, 2011)
Pada saat titik ekuivalen maka mol-ekuivalen asam akan sama
dengan mol-ekuivalen basa, maka hal ini dapat ditulis sebagai berikut (Esdi,
2011)
mol-ekuivalen asam = mol-ekuivalen
basa
Mol-ekuivalen diperoleh dari hasil perkalian antara
normalitas (N) dengan volume, maka rumus diatas dapat ditulis sebagai berikut:
N asam x V asam = N asam x V basa
Normalitas diperoleh dari hasil perkalian antara molaritas
(M) dengan jumlah ion H+ pada asam atau jumlah ion OH- pada basa, sehingga rumus
diatas menjadi:
(n x M asam) x V asam = (n x M basa)
x V basa
Keterangan
:
N = Normalitas
V = Volume
M = Molaritas
n = Jumlah ion H +(pada asam) atau OH- (pada basa).
N = Normalitas
V = Volume
M = Molaritas
n = Jumlah ion H +(pada asam) atau OH- (pada basa).
BAB III
METODOLOGI
3.1 Alat dan bahan
- NaOH 0,1 M - Buret 50 mL
- HCl 0,1 M -
Statif dab klem
- H2C2O4 - Gelas ukur 25 mL atau 10 mL
- Erlenmeyer --
Indikator penolphetalein
- Corong kaca
3.2 Cara kerja
3.2.1 Standarisasi larutan NaOH 0,1
M
Mencuci bersih buret yang akan digunakan
untuk standarisasi dan membilas dengan 5 mL larutan NaOH. Memutar kran buret untuk mengeluarkan
cairan yang tersisa dalam buret, selanjutnya mengisi buret dengan 5 mL NaOH untuk
membasahi dinding buret. Kemudian larutan dikeluarkan lagi dari buret. Larutan
NaOH dimasukkan lagi ke dalam buret sampai skala tertentu. Mencatat kedudukan volume awal NaOH
dalam buret.
Proses standarisasi :
-
Mencuci 3 erlenmeyer, pipet 10 Ml,
larutan asam oksalat 0,1 M dan memasukkan ke dalam setiap Erlenmeyer dan menambahkan ke dalam masing-masing
Erlenmeyer 3 tetes indicator penophtalein (PP).
-
Mengalirkan larutan NaOH yang ada dalam
buret sedikit demi sedikit sampai terbentuk warna merah muda yang tidak hilang
apabila gelas Erlenmeyer digoyang.
-
Mencatat volume NaOH terpakai
-
Mengulangi dengan cara yang sama untuk
Erlenmeyer ke II dan III.
-
Menghitung molaritas (M) NaOH.
3.2.1 Penentuan konsentrasi HCl
- Mencuci 3 Erlenmeyer, pipet 10 mL
larutan HCl 0,1 M dan memasukkan ke dalam setiap Erlenmeyer
- Menambahkan kedalam masing-masing
Erlenmeyer 3 tetes indicator penolphtalein (PP)
- Mengalirkan larutan NaOH yang ada dalam
buret sedikit demi sedikit sampai terbentuk warna merah muda yang tidak hilang
apabila gelas erlenmeyer digoyang.
- Mencatat volume NaOH terpakai
- Mengulangi dengan cara yang sama untuk
Erlenmeyer ke II dan III.
- Menghitung molaritas (M) HCl.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
4.1 Hasil pengamatan
Standarisasi NaOH dengan larutan
asam oksalat
No
|
Prosedur
|
Ulangan
|
Rata-rata
|
||
I
|
II
|
III
|
|||
1
|
Volume larutan asam oksalat 0,1 M
|
10 mL
|
10 mL
|
10 mL
|
10 mL
|
2
|
Volume NaOH terpakai
|
19,8 mL
|
21 mL
|
18,6 mL
|
19,8 mL
|
3
|
Molaritas (M) NaOH
|
0,050 M
|
0,047 M
|
0,053 M
|
0,050 M
|
Standarisasi HCl dengan larutan HCl
No
|
Prosedur
|
Ulangan
|
Rata-rata
|
||
I
|
II
|
III
|
|||
1
|
Volume larutan HCl
|
10 mL
|
10 mL
|
10 mL
|
10 mL
|
2
|
Volume NaOH terpakai
|
25,4 mL
|
27 mL
|
23,5 mL
|
25,3 mL
|
3
|
Molaritas (M) NaOH
|
Berdasarkan hasil percobaan diatas
|
0.050 M
|
||
4
|
Molaritas (M) larutan HCl
|
|
0,039 M
|
4.2 Perhitungan
Standarisasi
NaOH dengan larutan asam oksalat
Ulangan I V1.M1
= V2.M2
10
. 0,1 = 19,8 . M2
1 = 19,8 . M2
M2 = 1 = 0,050 M
19,8
Ulangan II V1 . M1 = V2 . M2
10 . 0,1 = 21 . M2
1 = 21 . M2
M2 = 1 = 0,047 M
21
Ulangan III V1 . M1 = V2 . M2
10 . 0,1 = 18,6 . M2
1 = 18,6 .
M2
M2 = 1 = 0,053 M
18,6
Rata-rata : V1 .
M1 = V2 . M2
10 . 0,1 = 19,8 . M2
1 = 19,8 . M2
M2 = 1 = 0,050 M
19,8
Standarisasi HCl dengan larutan HCl
Rata-rata : V1 . M1 = V2 . M2
10 . 0,1 = 25,3 . M2
M2 = 1 = 0,039
25,3
BAB V
PEMBAHASAN
Pada percobaan standarisasi
NaOH 0,1 M dengan larutan asam oksalat dilakukan dalam tiga kali ulangan dengan
proses :
Ulangan pertama,
mengukur volume asam oksalat sebanyak 10 mL dengan menggunakan gelas ukur 10
mL. Kemudian larutan asam oksalat yang sudah diukur dalam gelas ukur sebanyak
10 mL tersebut dituangkan ke dalam Erlenmeyer dan ditetesi dengan indikator
penolphetalein sebanyak 3 tetes. Setelah itu larutan asam oksalat diletakkan
dibawah buret dan ditetesi dengan larutan NaOH yang ada didalam buret setetes
demi setetes, erlemeyer sambil di goyang-goyang hingga larutan asam oksalat
yang semula bening berubah menjadi pink atau ungu. Apabila larutan asam oksalat
sudah berubah warna menjadi pink atau ungu, maka cepat tutup kran pada buret
supaya larutan dalam buret tidak keluar lagi. Langkah selanjutnya menghitung
banyaknya volume NaOH yang terpakai. Pada ulangan I didapatkan volume NaOH
terpakai sebanyak 19,8 mL, catat pada tabel laporan sementara dibagian Ulangan
I. Kemudian hitung Molaritas NaOH sebagai berikut :
V1 . M1 = V2 . M2
10 . 0,1 = 19,8 . M2
1 = 19,8 . M2
M2 = 1 = 0,050 M
19,8
Berikutnya
ialah mengulangi langkah-langkah diatas sebanyak dua kali, hingga didapatkan
pada ulangan II volume NaOH terpakai sebanyak 21 mL
V1 .
M1 = V2 . M2
10 . 0,1 = 21 . M2
1 = 21 . M2
M2 = 1/21 = 0,047 M
pada ulangan
III didapatkan volume NaOH terpakai sebanyak 18,6 mL
V1 . M1 = V2 . M2
10 . 0,1 = 18,6 . M2
1 = 18,6 . M2
M2 = 1 = 0,053 M
18,6
Sehingga dapat kita cari rata-rata volume NaOH
terpakai dengan cara :
19,8 mL + 21 mL + 18,6 mL = 19,8 mL
3
Rata-rata
Molaritas (M) NaOH adalah :
V1 . M1 = V2 . M2
10 . 0,1 = 19,8 . M2
1 = 19,8 . M2
M2 = 1 = 0,050 M
19,8
Percobaan yang kedua
ialah standarisasi HCl dengan larutan HCl yang juga dilakukan dengan tiga kali
pengulangan, yang akan dibahas sebagai berikut :
Mula-mula kita cuci
gelas ukur yang telah kita pakai untuk mengukur volume asam oksalat tadi dengan
air bersih. Kemudian ukur volume larutan HCl dengan menggunakan gelas ukur 10
mL sebanyak 10 mL dan tuangkan ke Erlenmeyer. Kemudian tetesi larutan HCl
dengan indikator penolphetalein sebanyak 3 tetes menggunakan pipet tetes. Lalu
letakkan erlenmeyer tadi dibawah buret yang berisi larutan NaOH dan tetesi
sedikit demi sedikit sambil erlenmeyer digoyang-goyang. Lakukan hingga larutan
HCl yang mulanya benih hingga berubah menjadi pink/ungu. Apabila larutan HCl
sudah berubah warna menjadi pink/ungu, maka cepat-cepat tutup kran pada buret
untuk menghindari larutan NaOH menetes kembali, lalu didapatkan volume NaOH
terpakai sebanyak 25,4 mL. Kemudian mengulangi pada percobaan tadi sebanyak dua
kali hingga didapatkan hasil pada ulangan II volume NaOH terpakai sebanyak 27
mL dan pada ulangan III didapatkan volume NaOH terpakai sebanyak 23,5 mL.
Kemudian menghitung rata-rata volume NaOH terpakai yaitu :
25,4 mL + 27
mL + 23,5 mL = 25,3 mL
3
Langkah
selanjutnya ialah menghitung Molaritas (M) larutan HCl dengan rumus :
V1 . M1 = V2
. M2
10 . 0,1 = 25,3 . M2
1 =
25,3 . M2
M2 = 1 =
0,039 M
25,3
Jadi, nilai
rata-rata Molaritas (M) larutan HCl ialah 0,039 M
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Perhitungan pH dalam melakukan
praktikum dapat ditentukan dengan mencari volume rata-rata dari larutan NaOH
yang digunakan untuk menaikkan kadar atau konsentrasi HCL.
Titrasi harus dihentikan bila larutan
HCl yang dicampurkan dengan 3 tetes indikator berubah warna dari bening hingga menjadi
pink. Volume NaOH yang digunakan akan mempengaruhi hasil konsentrasi dari HCl
tersebut, sehingga harus sangat berhati-hati melakukan praktikum ini. Setelah
volume NaOH (basa) diketahui, barulah Konsentrasi HCl (asam) bisa dihitung.
6.2 Saran
Dalam melakukan
praktikum, sebaiknya harus berhati-hati dalam menggunakan larutan-larutan yang ada di
laboratorium dan dalam melakukan praktikum kali ini kita juga harus
memperhatikan ketelitian dalam mengukur volume larutan basa (NaOH), karena
volume larutan NaOH sangat mempengaruhi hasil konsentrasi HCl.
BAB VII
JAWABAN
PERTANYAAN
1.
Bagaimana caranya agar titik akhir
titrasi mendekati titik ekivalen
Answer :
Caranya
adalah ketika sudah mendekati titik ekivalen usahakan agar penambahan titernya
secara perlahan, apabila perlu setengah tetes, biar tidak melewati titik
ekivalen terlalu jauh.
2.
Jelaskan dengan singkat fungsi indikator
Standarisasi Larutan NaOH 0,1 N
Fungsi
penambahan indikator penolphtalein untuk mengetahui terjadinya suatu titik ekivalen
dalam proses penitrasian dengan terjadinya perubahan warna pada
larutan.Indikator PP dengan range pH 8,0 ± 9,6 merupakan indikator yang baik
untuk larutan basa dimana indikator ini akan merubah warna larutan dari
bening menjadi merah muda akibat dari perubahan pH larutan
pada saat penitrasian.
Standarisasi Larutan HCl 0,1 N
Penambahan indikator metil orange
menyebabkan perubahan warna larutan menjadi kuning. Dalam proses titrasi
digunakan indikator metil orange yang jangkauannya pada pH 3,1 sampai pH
4,4 yang akan memberikan warna kuning. Penambahan indikator ini bertujuan
untuk menandai titik ekivalen titrasi yang ditandai dengan perubahan warna larutan dari
yang awalnya berwarna kuning menjadi berwarna orange. Warna ini dikarenakan adanya
pengaruh ion H+ dari HCl yang
bereaksi dengan indikator metil oranye dengan reaksi :HInßàH+
+ In.
3. Jelaskan apakah reaksi dapat berlangsung jika tidak ditambah dengan
indikator
Indikator adalah senyawa organik yang dapat berubah warna jika pH
larutannya berubah. Jadi, dalam reaksi indikator phenolptalein menjadi bahan yang
sangat penting. Jika dalam percobaan tidak ditambahkan dengan indikator, maka
reaksi tidak akan berjalan.
4. Tuliskan
dengan lengkap reaksi yang terjadi pada reaksi diatas
Standarisasi NaOH dengan larutan asam oksalat
(COOH) + 2NaOH >>> Na2C2O4 + 2H2O
Untuk menstandarisasi larutan
NaOh maka dalam percobaan ini menggunkan larutan asam oksalat H2C2O2
sebagai larutan standarnya. Berdasarkan hasil percobaan yang telah
dilakukan dapat diketahui ini merupakan reaksi asidi-alkalimetri asam basa
antara asam oksalat dan basa NaOH. Volume asam oksalat yang digunakan untuk
titrasi adalah 10 mL. Asam oksalat sebagai sebagai titrant yang diketahui
berwarna bening dan NaoH sebagai titer yang berwarna bening pula, sebelum
dilakukan titrasi kita masukkan 3 tetes indikator PP yang diketahui berwarna
bening kedalam larutan oksalat agar pada saat titrasi dapat terjadi perubahan
warna ketika mencapai titik ekuivalen yaitu titik dimana jumlah larutan asam
oksalat sama denagn jumlah larutan pada NaOH yang diperlukan untuk bereaksi
sempurna. Dalam titrasi ini kita menggunakan indikator PP karena fenol
phenolptalein itu tergolong asam yang sangat lemah dalam keadaan terionisasi
lebih banyak dan dia akan memberikan warna yang terang dan perubahan warnanya
lebih mudah untuk diamati.
Standarisai HCl dengan larutan HCl
NaOH + HCl >>> NaCl + H2O
Jika HCl dicampurkan dengan
NaOH, maka ion H+ dari HCl akan bereaksi dengan ion OH-
dari NaOH membentuk air (H2O). Reaksi ini disebut reaksi penetralan.
Sementara, Cl- dari HCl akan bereaksi dengan ion Na+ dari
NaCl membentuk garam NaCl.
HCl (aq) + NaOH
(aq) >>> NaCl (aq) + H2O (I)
Di dalam
larutannya, HCl dan NaOH akan terurai menjadi ion-ionnya, sehingga reaksi yang
terjadi adalah sebagai berikut.
H+ (aq) + Cl- (aq) + Na+
(aq) + OH- (aq) >>> Na+ (aq) + Cl-
(aq) + H2O (aq)
Dari reaksi
diatas dapat disederhanakan menjadi reaksi ion bersih adalah
H+
(aq) + OH-(aq) >>> H2O (aq)
5. Jelaskan pengertian larutan standar primer dan larutan standar
sekunder
Larutan primer adalah
larutan standar yang konsentrasinya diperoleh dengan cara menimbang. Larutan
standar sekumder adalah larutan yang konsentrasinya diperoleh dengan cara
mentitrasi dengan larutan standar primer.
6. Tuliskan sayarat-syarat suatu indikator dapat dipakai dalam suatu
titrasi.
Tidak semua reaksi dapat
diperguankan sebagai reaksi titrasi. Untuk itu harus dipenuhi syarat-syarat
sebagai berikut ;
1. Reaksi harus berlangsung sempurna, tunggal dan
menurut persamaan yang jelas.
2. Reaksi
harus cepat dan reversible. Bila tidak cepat, titrasi akan memakan waktu
terlalu banyak apalagi menjelang titik akhir reaksi. Bila reaksi tidak
reversible, penentuan akhir titrasi tidak tegas.
3. Harus ada penunjuk akhir
reaksi (indikator).
4. Larutan
baku yang dieraksikan denan analit harus mudah dibuat dan sederhana
penanganannya serta harus stabil sehingga konsentrainya tidak mudah berubah.
DAFTAR PUSTAKA
Esdi pangganti.
2011. Titrasi Asam Basa. http://esdikimia.wordpress.com/2011/06/17/titrasi-asam-basa/
diakses pada 20 nov 13,
pada pukul 19.23
Harjadi,
W. 1990. Ilmu Kimia Analitik Dasar.
Gramedia: Jakarta
Khopkar,
S.M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik.
UI Press: Jakarta
Purba,
Michael. 1997. Buku Pelajaran Ilmu Kimia
Untuk SMU kelas 2. Erlangga: Jakarta
Rivai,
H. 1990. Asas Pemeriksaan Kimia. UI
Press: Jakarta
Susanti,
S. 1995. Analisis Kimia Farmasi
Kualitatif. LEPHAS: Makassar
No comments:
Post a Comment